Sudah lebih
kurang lima belas tahun Indonesia hidup
dalam bingkai reformsi. Reformasi menuntut Indonesia mampu mensejahterakan
rakyatnya. Amanat kemerdekaan yang diraih sejak enam puluh tujuh tahun yang
lalu merupakan amanah yang tidak main-main untuk mewujudkan Indonesia yang
berdaulat serta mampu mensejahtarkan rakyatnya dalam bingkai keberagaman wajah
Indonesia. Kekayaan Sumber Daya Alam melimpah ruah tersebar di berbagai daerah dalam
wilayah Kesatuan Republik Indonesia. Banyaknya hasil suvey yang menyatakan
kekayaan alam Indonesia merupakan bukti nyata kekayaan alam Negara tercinta
Indonesia. Bahkan saking banyaknya hasil survey tersebut, penulis tidak akan
menyertakan satu pun hasil survey dalam tulisan
singkat ini.
Namun, sayang
seribu sayang, kekayaan alam Negara yang tak ternilai harganya hanya dapat
dirasakan segelintir manusia Indonesia. Mereka memanfaatkan kedudukan serta
status sosial untuk memperkaya diri tanpa memikirkan nasib manusia-manusia
Indonesia lain yang menurut tafsir perjuangan Indonesia di zaman kemerdekaan
adalah mati bersama dalam kebebasan atau hidup terkekang dalam penjajahan.
Penjajahan melalui pemikiran sudah sangat massif meracuni manusia pragmatis
Indonesia, sehingga berakibat pada keengganan untuk mewujudkan cita-cita
kesejahteraan dan keadlian bagi rakyat Indonesia dalam pembukaan UUD 1945.
Salah satu dampak akibat perilaku tersebut adalah pemikiran-pemikiran tentang
pengolahan kekayaan alam yang futuristic secara mandiri. Manusia pragamatis
Indonesia seakan-akan tidak mempercayai kemampuan saudara sebangsa setanah air
Indonesia dalam menangani kekayaan alam negeri ini. Banyaknya hasil-hasil
kontrak asing dengan pihak pemerintah dalam penangan kekayaan alam merupakan
bukti nyata betapa bodohnya Negara ini dalam mengurus negerinya sendiri.
Sekarang kita
bandingkan dengan Negara Jepang yang konon katanya merupakan Negara dengan
tingkat kesejahtaraan rakyatnya sangat merata serta merupakan salah satu
kekuatan ekonomi dunia. Bangsa Jepang lahir kembali dari kehancuran akibat
tragedi Hiroshima dan Nagasaki. Bangsa Jepang merupakan bangsa yang tidak
memiliki sumber daya alam melimpah bak Indonesia. Namun, keadaan yang demikian
mendorong seluruh elemen bangsa terutama dari kalangan pemerintah berpikir bagaimana
bangsa ini(Jepang) dapat makmur, sedangkan kekayaan alam Negara ini(Jepang)
hampir tidak mungkin mensejahterakan rakyat. Penguasaan terhadap ilmu
pengetahuan adalah kuncinya. Bangsa Jepang mampu berpikir di luar kondisi
bangsa untuk memanfaatkan kesempurnaan manusia sebagai makhluk yang senantiasa
berpikir. Kemandirian teknologi merupakan realisasi terhadap analisa kemampuan
berpikir manusia yang tiada tahu berapa batasannya. Kemandirian teknologi serta
kemauan seluruh elemen untuk berpikir mendorong bangsa Jepang mampu menciptakan
kekaryaan hasil anak bangsa sendiri walaupun sumber-sumber materi banyak
didapat dari bangsa lain. Sebagai contoh industri otomotif. Ketersediaan alam
akan kandungan bijih besi yang mustahil ditemukan di Negara Jepang dapat teratasi
dengan berbagai kebijakan Negara Jepang akan impor bijih besi dari Negara
penghasil. Penguasaan teknologi secara massif komprehensif menjadikan harga
impor bijih besi yang diimpor dalam materi dasar ( tanpa proses pengolahan )
sangat murah jika diimpor sudah melalui berbagai proses pengolahan. Hal
tersebut yang dimanfaatkan oleh pemerintah Jepang yang bekerja sama dengan
teknokrat-teknokrat Negara mewujudkan kemandirian teknologi pengolahan bijih
besi menjadi sesuatu yang sangat berharga.
Satu pertanyaan
yang dapat disederhanakan dalam akhir tulisan singkat ini. Apakah Bangsa ini
(Indonesia) harus menjadi bangsa Jepang yang miskin kekakyaan alam untuk dapat mandiri dalam penguasaan
teknologi ? Pertanyaan yang seharusnya dapat dijawab oleh manusia-manusia
Indonesia yang terlahir dalam kondisi kesempuraan akal.
Jayalah Negaraku Indonesia
0 comments
Posts a comment