Monday, January 28, 2013

NOT ARABISASI ISLAM

 
“Masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh” (Q.S Al-Baqarah 2:208)
Kutipan ayat diatas sangat banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran intelektual muslim. Intelektual muslim yang terbiasa atas formalisasi, mengartikan Islam sebagai suatu hal yang formal, yakni Islam sebagai sebuah sistem Islam yang harus diwujudkan melalui suatu kelembagaan. Mereka yang tidak terbiasa dengan formalisasi, mengartikan Islam sebagai sifat kedamaian, yang berlaku secara universal, tanpa harus adanya suatu sistem yang mengikat. Kesempuranaan Islam sebagai rahmatan liil alamiin sebagaimana tertuang pada Q.S Al-Maidah 3: ayat 5 menunjukkan bahwa Kesempurnaan Islam harus berada pada sebuah lembaga yang dapat mengaktualisasikan Islam (Negara). Tanpa Negara, Islam tak akan berwujud dan berjalan sempurna. Namun demikian, alangkah baiknya jika kita juga memperhatikan kondisi kepemimipinan seseorang Islam. Adakah sesosok pemimpin yang meneladani Rasulullah SAW yang dapat berperalaku adil dan toleranasi untuk setiap umat manusia, sehingga tidak ada gesekan-gesekan antar umat manusia dengan dasar agama. Bukankah Islam menganjurkan setiap umat manusia mencari kebenaran terhadap Islam seperti yang tertuang pada (QS al-Kafirun [109]:6).  “Bagi kalian agama kalian dan bagi-ku agama-ku (lakum dînukum wa liyadîn)”. Dari kutipan ayat tersebut  terkutip suatu pernyataan bahwa Islam menjamin kehidupan umat beragama, tanpa harus memaksa manusia memasuki Islam.  Ayat tersebut jelas menunjukkan bahwa kesempurnaan agama Islam tidak terletak pada lembaga yag menaunginya atau memaksakan kehendak untuk meyakini Islam sebagai agama yang benar. Namun, ayat tersebut menjelaskan bahwa Islam sebagai agama yang benar diyakini dengan cara pencarian. Dengan demikian, Kessempurnaan Islam sebagai sebuah sistem tidak terletak pada lembaga yang menaunginya, namun terletak pada kekuatan dan kemampuan akal manusia untuk melakukan penilaian dalam rangka pencarian kebenaran.
Dengan memperhatikan berbagai telaah pada paragraf sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pesan pluralisme di negeri Indonesia yang majemuk, harus kita jaga semaksimal mungkin. Pribumisasi Islam merupakan suatu hal yang perlu dilakukan setiap masyarakat Islam. Budaya gotong-royong yang ada sejak zaman kerajaan merupakan salah satu upaya pribumisasi Islam tanpa harus memperhatikan golongan, etnis, maupun agama. Karena sejatinya sikap gotong royong merupakan suatu anjuran setiap ajaran agama di muka bumi ini. Sikap berlebihan dalam uapaya praksis terhadap budaya Arab di negeri Indonesia, menunjukkan primodialisme masyarakat Islam yang latah. Islam sebagai Rahmatan liil Alamiin, bukankah selalu mengenal perbedaan, bukankah Islam mengenal keberagaman, serta menjadikan sebuah keberagaman sebagai suatu kekuatan. Sebagaimana ucapan Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah, “Tiada Islam tanpa komunitas, tiada komunitas tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan (La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa bi tha’ah).” Hal ini menunjukkan bahwa tidak kita pungkiri kemajemukan umat Islam sendiri. Kulturisasi tiap regional di muka bumi ini menunjukkan bahwa Islam sangat beragam ditiap komunitas. Islam di Arab sangat berbeda dengan Islam di Indonesia, begitu juga dengan Islam di daerah lain di muka bumi ini. Perbedaan ini, disebabkan kultur yang berbeda pula. Oleh karena itu, di dalam perbedaan kultur ini, Masyarakat Islam pribumi dapat menerapkan Islam dengan cara yang sesuai dengan kondisi komunitas (Indonesia). Adopsi gaya kepemimpinan serta jalan hidup Islam Arab di Indonesia jelas akan banyak memberikan berbagai polemik di negeri ini, yang jelas bertentangan dengan pesan perdamaian Islam untuk kehidupan sebagaimana yang tertuang pada Q.S Al-Baqarah 2 : ayat 208).

0 comments

Posts a comment

 
© 2013 HMI Komisariat Perkapalan Sepuluh Nopember | Gebang Lor 14 Surabaya
Designed by HMI Komisariat Perkapalan
Back to top