“Masuklah kalian ke dalam Islam
(kedamaian) secara penuh” (Q.S Al-Baqarah 2:208)
Kutipan
ayat diatas sangat banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran intelektual muslim.
Intelektual muslim yang terbiasa atas formalisasi, mengartikan Islam sebagai
suatu hal yang formal, yakni Islam sebagai sebuah sistem Islam yang harus
diwujudkan melalui suatu kelembagaan. Mereka yang tidak terbiasa dengan
formalisasi, mengartikan Islam sebagai sifat kedamaian, yang berlaku secara
universal, tanpa harus adanya suatu sistem yang mengikat. Kesempuranaan Islam
sebagai rahmatan liil alamiin sebagaimana tertuang pada Q.S Al-Maidah 3: ayat 5
menunjukkan bahwa Kesempurnaan Islam harus berada pada sebuah lembaga yang
dapat mengaktualisasikan Islam (Negara). Tanpa Negara, Islam tak akan berwujud
dan berjalan sempurna. Namun demikian, alangkah baiknya jika kita juga
memperhatikan kondisi kepemimipinan seseorang Islam. Adakah sesosok pemimpin
yang meneladani Rasulullah SAW yang dapat berperalaku adil dan toleranasi untuk
setiap umat manusia, sehingga tidak ada gesekan-gesekan antar umat manusia
dengan dasar agama. Bukankah Islam menganjurkan setiap umat manusia mencari
kebenaran terhadap Islam seperti yang tertuang pada (QS al-Kafirun [109]:6). “Bagi kalian agama kalian dan bagi-ku
agama-ku (lakum dînukum wa liyadîn)”. Dari kutipan ayat
tersebut terkutip suatu pernyataan bahwa
Islam menjamin kehidupan umat beragama, tanpa harus memaksa manusia memasuki
Islam. Ayat tersebut jelas menunjukkan
bahwa kesempurnaan agama Islam tidak terletak pada lembaga yag menaunginya atau
memaksakan kehendak untuk meyakini Islam sebagai agama yang benar. Namun, ayat
tersebut menjelaskan bahwa Islam sebagai agama yang benar diyakini dengan cara
pencarian. Dengan demikian, Kessempurnaan Islam sebagai sebuah sistem tidak
terletak pada lembaga yang menaunginya, namun terletak pada kekuatan dan
kemampuan akal manusia untuk melakukan penilaian dalam rangka pencarian
kebenaran.
Dengan memperhatikan berbagai telaah pada paragraf
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pesan pluralisme di negeri Indonesia yang
majemuk, harus kita jaga semaksimal mungkin. Pribumisasi Islam merupakan suatu
hal yang perlu dilakukan setiap masyarakat Islam. Budaya gotong-royong yang ada
sejak zaman kerajaan merupakan salah satu upaya pribumisasi Islam tanpa harus
memperhatikan golongan, etnis, maupun agama. Karena sejatinya sikap gotong royong
merupakan suatu anjuran setiap ajaran agama di muka bumi ini. Sikap berlebihan
dalam uapaya praksis terhadap budaya Arab di negeri Indonesia, menunjukkan
primodialisme masyarakat Islam yang latah. Islam sebagai Rahmatan liil Alamiin,
bukankah selalu mengenal perbedaan, bukankah Islam mengenal keberagaman, serta
menjadikan sebuah keberagaman sebagai suatu kekuatan. Sebagaimana ucapan Umar
bin Khattab ketika menjadi Khalifah, “Tiada Islam tanpa komunitas, tiada
komunitas tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan (La
islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa bi
tha’ah).” Hal ini menunjukkan bahwa tidak kita pungkiri kemajemukan umat
Islam sendiri. Kulturisasi tiap regional di muka bumi ini menunjukkan bahwa
Islam sangat beragam ditiap komunitas. Islam di Arab sangat berbeda dengan
Islam di Indonesia, begitu juga dengan Islam di daerah lain di muka bumi ini.
Perbedaan ini, disebabkan kultur yang berbeda pula. Oleh karena itu, di dalam
perbedaan kultur ini, Masyarakat Islam pribumi dapat menerapkan Islam dengan
cara yang sesuai dengan kondisi komunitas (Indonesia). Adopsi gaya kepemimpinan
serta jalan hidup Islam Arab di Indonesia jelas akan banyak memberikan berbagai
polemik di negeri ini, yang jelas bertentangan dengan pesan perdamaian Islam
untuk kehidupan sebagaimana yang tertuang pada Q.S Al-Baqarah 2 : ayat 208).
0 comments
Posts a comment